ANALISIS
NILAI BUDAYA BATAK DALAM NOVEL RAUMANEN
KARYA
MARIANNE KATOPPO MELALUI PENDEKATAN OBJEKTIF
MAKALAH KAJIAN PROSA
Dosen Pengampu: NoviDiah Haryanti, M.Hum.
Oleh:
Nurfayerni
1110013000093
Naila Sa’adah
1110013000094
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Bentrokan budaya dalam novel ini
memang terasa sekali dalam setiap aspek
jalan ceritanya. Raumanen merupakan
salah satu novel Indonesia karya Marianne Katoppo. Novel ini menceritakan
tentang Monang, seorang insyinyur Batak, yang kurang ajar dan “tak begitu
bersih hidupnya” yang jatuh hati pada Raumanen, mahasiswa hukum tingkat tiga bersuku
bangsa Minahasa, yang cerdas tapi “menjadi mangsa yang begitu empuk. Agaknya
kisah semacam ini tak sulit ditebak.
Kisah kasih tak sampai karena
pertentangan budaya dan kesukuan menyebabkan novel ini menjadi menarik untuk
dibaca dan dianalisis. Bukan tanpa alasan hal yang demikian menjadi
pertimbangan. Novel ini terbit pada tahun 1977, pada masanya karya ini dianggap sebagai karya yang
bukan sastra pop kelas bulu. Tulisan yang masih layak dibaca sampai kapanpun.
Novel Raumanen selain mengangkat tema
benturan budaya di dalamnya, hal yang tak boleh dilupakan begitu saja yaitu
mengenai feminisme. Seorang Marianne Katoppo merupakan tokoh feminis yang
menonjol. Bahkan dalam suatu wawancara dengan Majalah Optimis Mei 1982,
Marianne Kattopo mengaku selalu mengangkat tema wanita Indonesia dalam
masyarakat Indonesia.
Marianne Katoppo adalah seorang feminis
yang gigih mengangkat perasaan wanita dalam setiap karya-karyanya. Sebut saja
salah satu novelnya yang berjudul Terbangnya Punai yang merupakan kisah seorang
wanita di rantau. Tergambar jelas bagaimana kondisi batin dan perjuangan
seorang wanita dalam menghadapi lika-liku kisah percintaan yang banyak aral
melintang.
Kalau ingin membaca dan menelusuri novel
ini, kita akan terbawa pada isi cerita yang penuh dengan perasaan karena
penulisnya adalah seorang perempuan. Karena di Indonesia penulisan oleh seorang
penulis wanita dengan ungkapan-ungkapan perasaan secara lugas itu masih langka,
maka novel itupun layak dibaca.
Namun, terlepas dari itu semua, kami
selaku peneliti sudah memutuskan untuk lebih mengkaji nilai-nilai budaya batak
dalam novel ini. Menjadi hal yang menarik untuk dikaji karena tema besar yang
ada dalam novel ini memang mengenai benturan budaya yang dialami tokoh Monang
dalam budaya Batak. Sesuatu yang menggelitik kami untuk meninjau lebih jauh apa
saja falsafah budaya Batak dan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan dalam
budaya Batak.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana unsur
intrinsik yang terkandung dalam novel Raumanen?
2. Bagaimana nilai
budaya Batak pada novel Raumanen?
C.
Tujuan
1. Mengetahui unsur
instrinsik dalam novel Raumanen.
2. Mengetahui nilai
budaya batak pada novel Raumenen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Novel ini pernah dikaji oleh seseorang
(anonim) dalam surat kabar Sinar Harapan pada
tahun 1978 dengan judul artikel “Raumanen”
dan “Bukan Impian Semusim”. Ia mengkaji tentang nilai religius yang
terkandung dalam novel Raumanen. Dapat
disimpulkan bahwa pengarang hendak melawan anggapan salah: bahwa bunuh diri adalah
dosa tak berampun. dalam bukunya ini ternyata Raumanen akhirnya bisa naik dan mekar, mencari ilahi kerinduanku,
setelah mengerti, menyerah, dan insaf. Tokoh yang membunuh dirinya sendiri
tetap juga mendapatkan ampunan dari Tuhan.
Tentu saja bukan maksud pengarang agar
orang menggampangkan diri untuk bunuh diri. Di sini pengarang hanya hendak
menunjukkan betapa orang semuda Raumanen yang masih goyah, cenderung untuk
bunuh diri dalam menghadapi konflik yang ruwet.[1]
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG, LATAR
BELAKANG LAHIRNYA KARYA,
DAN SINOPSIS NOVEL
RAUMANEN
A.
Biografi Pengarang
Marianne Katoppo, Theolog
serta sastrawan Indonesia yang berasal dari Kota Tomohon, Sulawesi
Utara, 9 Juni 1943. Sebagian besar pendidikannya dilalui di luar negeri. Usai
meraih gelar Sarjana Muda di Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta (1963), ia
berangkat ke Tokyo, belajar di International Christian University (1964), lalu
di Shingakuhbu sejenis sekolah Teologi, Doshisa Daigaku, Kyoto (1965).
Orang
selalu mengidentikkannya dengan Raumanen,
novel yang muram, membuat hati pembacanya berpasir. Ia kemudian juga lebih
dikenal masyarakat luas sebagai seorang Novelis, ketimbang seorang Teolog
Dunia. Raumanen memenangkan sayembara menulis
novel Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1975 dan petama kali diterbitkan
sebagai cerita bersambung di majalah Femina,
sebelum akhirnya dibukukan ditahun 1977. Selain itu, novel Raumanen ini juga menggondol hadiah dari Yayasan Buku Utama pada
tahun 1978 dan SEA Write Award pada
tahun 1982.[2]
Anak
bungsu dari 10 bersaudara keluarga Elvianus Katoppo, Menteri Pendidikan Zaman
Negara Indonesia Timur ini sudah bekerja sebagai peneliti naskah di British and
Foreign Bible Society, salah satu penerbit tertua di dunia, tahun 1966-1969.
Pada tahun 1970-1974 ia bekerja di AB Svenska Pressbyran, Stockholm, Swedia.
Pulang
ke Indonesia, ia menyelesaikan study Sarjana Lengkap di Sekolah Tinggi Teologia
Jakarta (1975-1977) dan melanjutkan studi Pascasarjana di sebuah lembaga
pendidikan teologi terkenal di dunia, yaitu Institute Oecumenique Bossey, Swiss
selama setahun. Namun, hasil hidup dan bekerja di luar negeri yang sering dibayangkan
orang banyak memberi keuntungan materi, tak tersisa pada perempuan yang memilih
hidup melajang hingga akhir hayatnya ini.
Tak
banyak yang mengetahui bahwa Henriette M. Katoppo menguasai 12 Bahasa asing
secara fasih, mulai dari yang standar seperti Inggris, Belanda, Belgia, Jepang
dan lain-lain hingga ke bahasa Rusia, Latin, Tamil, Sahwil, dan lain-lain dikuasainya dengan
sempurna.
Katoppo
dikenal sebagai Teolog Feminis Pertama di Indonesia dan Asia. Karya teologinya
Compassionate and Free: An Asian Woman’s Theology (1979) diterjemahkan ke dalam
bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Swedia dan bahasa Tagalog, dan dipakai
sebagai buku ajar di berbagai sekolah Teologi dan Seminari di seluruh dunia.
Katoppo
adalah Anggota Pendiri dan mantan Koordinator Ecumenical Association of Third
World Theologians (EATWOT) Indonesia (1982), Forum Demokrasi (1991), Kelompok
HATI (1980), International Council WCRP. Ia giat sebagai aktivis dan pencetak
opini. Pada tahun 1995 ia mewakili Pramoedya Ananta Toer dalam menerima
Penghargaan Magsaysay di Manila, Filipina. Ia juga pernah duduk sebagai salah
satu Anggota dari Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia.
Katoppo
meninggal dunia pada 12 Oktober 2007 di Bogor, di sisi kakaknya, Pericles
Katoppo. Penyebabnya diduga serangan jantung. Jenazahnya dikremasikan pada 13
Oktober 2007 di Krematorium Oasis, Tangerang.[3]
B.
Latar Belakang Lahirnya Novel Raumanen
Mula-mula kisah inti Raumanen hanya merupakan salah satu bab
dalam Dunia Tak Bermusim (novel pertama
karya Katoppo). Namun akhirnya
dihilangkan, karena rasanya patut menjadi cerita sendiri. Fokusnya lain,
berbeda dengan fokus Dunia Tak Bermusim. Pada
saat-saat lowong, tanpa tugas dan kegiatan, Katoppo menulis naskah Raumanen.
Dorongan dari Rustandi dan sastrawan lain membuatnya semangat, sehingga novel Raumanen tidak tersimpan terus di dalam
laci.[4]
Novel Raumanen sempat juga menimbulkan kontroversi karena penggambarannya
yang jujur tentang hubungan lelaki-perempuan dan tentang ketegangan antar agama
dan suku—hal-hal yang masih menjadi masalah di Indonesia sampai sekarang.
Gampang memang untuk membaca novel ini sebagai kisah cinta bertepuk sebelah
tangan antara gadis Manado Raumanen dan pemuda Batak Monang, tapi pergulatan di
dalam hati tokoh-tokohnya yang digambarkan secara cermat, dan tabrakan-tabrakan
yang terjadi antara mereka dan adat daerah mereka masing-masing, menjadikan novel
ini sebuah saksi penting kondisi sosial waktu itu.[5]
C.
Sinopsis
Novel
ini secara ringkas menceritakan kisah cinta dua orang remaja yang berbeda latar belakang adat dan budaya.
Raumanen, atau sering dipanggil Manen adalah
seorang
gadis Menado yang tinggal di Jakarta. Ia seorang gadis berusia 18 tahun, berwawasan luas dan aktif di suatu
organisasi. Sementara si lelaki bernama
Monang, seorang insinyur muda yang energik,
berdarah Batak. Dua
orang pria dan wanita ini juga memiliki karakter yang berbeda. Manen, sebagai gadis yang baru berusia 18 tahun
masih sangat lugu berbicara soal cinta,
sementara
Monang sebagai seorang insinyur muda sangat senang berganti-ganti pacar.
Pertemuan
mereka dimulai ketika Manen mengukuti kegiatan organisasi. Di tempat itulah Manen bertemu dan berkenalan dengan Monang. Sejak
saat itulah mereka
berdua sering bertemu. Teman-teman Manen selalu mengingatkan Manen agar berhati-hati, karena mereka
tahu siapa Monang, lelaki perlente yang sangat senang
gonta-ganti pacar. Tetapi
peringatan teman-temannya itu tidak diperhatikan Manen.
Ia selalu mengatakan pada teman-temannya bahwa hubungan mereka sebatas kakak dengan adik saja. Namun hari demi hari, bersemi juga
rasa cinta Manen terhadap Monang,
pun perasaan Monang pada Manen juga
berubah. Monang merasa bahwa Manen tidak
seperti
gadis-gadis yang telah ia pacari. Pendek kata, Monang merasa bahwa Manenlah gadis yang selama ini ia idam-idamkan. Melihat kenyataan ini, teman-teman
Manen kembali memberi peringatan. Tidak
kurang
ibu Manen juga memberikan nasihat agar Manen serius dalam kuliah dulu. Semua nasihat ini tidak digubris
Manen. Dua laki-laki
dan wanita itu sudah saling jatuh
cinta. Hingga perbuatan yang dilarang agama pun terjadi di sebuah bungalow di Cibogo, Puncak. Monang berjanji pada Manen bahwa
dirinya akan bertanggung jawab jika terjadi
sesuatu
pada Manen. Monang akan menikahi Manen. Tetapi sejak peristiwa itu, batin Manen menjadi tidak tenang.
Meski Monang telah bersumpah akan
menikahinya,
meskipun lelaki itu telah mengenalkan dirinya kepada kedua orangtuanya. Gadis muda belia itu
selalu khawatir jika Monang tidak benar-benar cinta
terhadap dirinya, karena Monang sangat jarang menyatakan perasaan cinta secara lisan. Padahal Monang sangat
sayang dan cinta kepada Manen. Peristiwa
di Puncak itu terus berulang hingga pada akhirnya Manen hamil. Monang yang mengetahui kekasihnya hamil
menjadi sangat senang. Monang membujuk
orangtuanya
agar menikahkan mereka. Tetapi alangkah mengejutkan, orangtua Monang tidak menyetujui pernikahan
beda suku itu. Namun, Monang tetap
bertekad
akan menikahi Manen meski tanpa restu orangtua. Di sisi lain, Manen sebagai gadis belia selalu saja
khawatir. Kekhawatiran itu semakin menjadi-jadi ketika hasil pemeriksaan dokter
menyatakan bahwa bayinya akan lahir cacat. Hal itu disebabkan penyakit sifilis
yang dibawa oleh Monang. Dokter menyarankan agar mereka menggugurkan kandungan,
tetapi Monang tidak sepakat karena ia sangat ingin memiliki seorang anak dari
darah dagingnya. Di tengah ketersiksaan diri itulah, Gadis belia Manen
mengambil keputusan yang tidak diduga-duga. Peristiwa di puncak yang
sesungguhnya dilarang agama itu kembali membayanginya. Bayangan Monang yang
sangat jarang mengucapkan rasa sayang secara lisan kepadanya. Ketidaksetujuan
orangtua Monang atas hubungan mereka, perasaan bersalah dan berdosa Manen
kepada ibunya, kepada teman-temannya bercapur aduk menjadi satu. Karena tidak
tahan mengalami siksaan batin itu, akhirnya Manen bunuh diri.
BAB IV
ANALISIS NOVEL RAUMANEN
A.
Unsur Intrinsik Karya
1. Tema: Bentrokan
budaya.
Novel
ini menceritakan perbedan budaya yang terjadi antara Manen dan Monang. Budaya
Batak yang mengharuskan seorang anak laki-laki menikah dengan gadis yang
sesuku. Sedangkan, Manen sendiri keturunan suku Manado, dan karena sebab itulah
ibu Monang tidak menyetujui hubungan mereka. Terjadilah bentrokan budaya daerah
Batak dan Manado.
“.... Sedangkan
Manen berkata cepat-cepat, dengan pipi merah karena marah, “Kadang-kadang boru Manado pun paham bahasa Batak!”
(Raumanen, 2006: 14)
“.... Kalau
tidak tunduk pada hukum adat, mereka takkan dianggap.” (Raumanen, 2006: 45)
“Manen yang
baik,” tulis Miri. Maafkan kalau Miri menyakiti hatimu. Soalnya, Kak Monang
adalah anak tertua dalam keluarga kami, dan menurut adat kami ia harus kawin dengan
orang kami juga....” (Raumanen, 2006: 96)
2. Tokoh dan
Penokohan
Raumanen atau Manen (Romi—nama panggilan kesayangan
ayahnya)
Gadis
bermuka bundar, berkulit langsep, cantik, rajin, independen, berwawasana luas,
dan aktif berorganisasi. Ia sangat lugu dan polos, sehingga mudah percaya
dengan orang lain, apalagi setelah ia mengenal Monang. Hidupnya pun berubah
akibat perbuatan yang mereka lakukan. Manen menyesali perbuatannya, ia juga termasuk
orang yang pemaaf.
“Memang Manen
sendiri seorang gadis remaja bermuka bundar, berkulit langsep, sebagaimana
umumnya dianggap menjadi ciri khas putrid Manado.” (Raumanen, 2006:21)
“.... Karena
perbuatan Monang, aku jadi begini .... Tetapi aku sudah lama mengampuninya.”
(Raumanen, 2006:3)
“Manen mengemasi
pakaiannya. Ia dan Ilyas diutus ke Bandung mewakili pengurus pusat pada acara
perkenalan mahasiswa di sana....” (Raumanen, 2006: 25)
Hamonangan Pohan (Monang)
Pemuda
yang doyan pesta, gila perempuan, bergaya perlente, acuh tak acuh, senang
menggambar. Insinyur muda yang enerjik, sangat patuh dengan perintah ibunya.
Hingga pada akhirnya, ia menikah dengan gadis pilihan ibunya, dan meninggalkan
Manen.
“Patrik
mengantarkan Manen ke dalam rumah. Menunggu pintunya dibuka, ia berkata
sungguh-sungguh, “Hati-hati kau terhadap orang itu, Nen. Memang daya pesonanya
besar dan hatinya sebetulnya baik, tetapi ia gila perempuan! Setiap bulan ganti
pacar!” (Raumanen, 2006: 19)
Ibu Monang
Orangtua
yang sangat mematuhi hukum adat, berwatak keras, dan menurut gambaran Manen, ibu Monang ini
menakutkan. Karena masih mematuhi hukum adat tersebut, maka anaknya Monang
harus menikah dengan gadis yang sesuku dengan silsilah keluarganya.
“Manen belum
pernah berjumpa dengannya muka dengan muka. Selalu digambarkannya sebagai
makhluk yang ngeri menakutkan, menyemprot api sebagai ular naga.” (Raumanen,
2006: 91)
Istri Monang
Istri
Monang sebenarnya hanya sebagai tokoh tambahan saja, digambarkan sebagai istri
yang setia dan bijaksana. Tetapi, peranannya juga penting di dalam cerita.
“.... Sungguh
tak termaafkan, dan pasti menyayat hati istri yang setia.” (Raumanen, 2006: 5)
“Mungkin sikap
istriku sangat bijaksana. Mungkin ia terlalu bodoh. Siapa tahu?” (Raumanen,
2006: 8)
Semua
tokoh sangat berpengaruh penting terhadap jalannya cerita di novel ini. Adapun
tokoh-tokoh (tambahan/pendukung), yaitu:
Anaknya
Manen (tanpa nama)
Raumanen
Teresia (Nenek Manen—Oma Romi)
Patrik
dan Ilyas (teman Manen dan Monang)
Namboru
(Bapak Propesor)
Pak
Rumokoi (Ayah Raumanen)
Ibu
Marya (Ibu Manen)
Loce,
Tiur, Ai-lin, Anton, Ruli, Togi dan Bistok (teman Monang)
Ferial
(ipar Manen), Edu (kakak Manen, suami ferial)
Lori
(teman kuliah Edu), Petu (pacar Lori)
Hilda
(sepupu Manen), Johan (tunangan Hilda), Tante Ance (ibu Hilda)
Tagor
(tetangga Manen yang pernah mengajar bahasa Batak Toba padanya)
Resi
Theresia (saudara sepupu Manen)
Norah
(ipar Ilyas), Laung (kakak Ilyas, suami Norah), Priscila (anak Norah)
Tante
Uli (adik bungsu ayah Manen)
Sara
(pacar Petrik), Joni (adik Sara)
Ewa
(sekteraris yang pernah bekerja di proyek tempat Monang bekerja sekarang)
Miri,
Ria, dan Gita (adik-adik Monang)
Sahat
(teman Manen), Rakhel (tunangan Sahat)
Miss
Roell si Juru rawat
Bonar
(teman Manen, Ketua kongres)
Philip
(teman Manen yang mengambil jurusan kedokteran)
Lani
(teman Manen, Sekretaris Kongres)
Toar
(kakak Manen), Olivia (istri Toar)
Menar
(keponakan Manen, anak dari Ferial)
3.
Latar
a.
Latar tempat
Bandung,
kota kembang.
Tempat
yang sebenarnya kisah kasih Manen dan Monang mulai terjalin, menaburkan kuncup
belianya ke dalam hati mereka. Bandung juga kota tempat Monang menuntut ilmu
selama tujuh tahun.
“Bandung adalah
kota tempat Monang menuntut pelajaran selama tujuh tahun. Ia turut menjadi
tokoh gerakan mahasiswa....” (Raumanen, 2006: 31)
Bukit
Dago
Pertama
kalinya Monang berani mencium Manen dan mengungkapkan perasaannya ke Manen.
Saksi bisu kegilaan Monang.
“Memang, ketika
Anton sudah turun, Monang tidak membawanya kembali ke tempat api unggun, tetapi
ke Bukit Dago. Dimatikannya mesin di suatu tempat yang sunyi, lalu dipegangnya
tangan Manen.” (Raumanen, 2006: 37)
Di
Flamboyan di pinggir jalan.
Tempat
Manen menunggu kedatangan keluarganya dan menunggu kekasihnya Monang untuk
datang melihatnya.
“Aku berdiri di
Flamboyan di pinggir jalan raya. Kulihat-lihat jalan ke kota. Begitu banyak
kendaraan yang berlalu, tetapi satu pun tak berhenti, menurunkan tamu bagiku.”
(Raumanen, 2006:47)
Bungalow
(tempat untuk beristirahat)
Ketika
itu mobil Monang mogok di Cibogo, Puncak. Kemudian, mereka mencari tempat untuk
berteduh karena hujan turun dengan derasnya. Di bungalow itu mereka diberikan
kamar oleh penjaga bungalow, dan apa yang terjadi setelah itu bagaikan mimpi
buruk bagi Manen. Mereka melakukan perbuatan selayaknya seperti suami dan
istri. Sampai akhirnya, Manen pun Hamil.
“Akhirnya mereka
pergi berteduh di suatu bungalow dekat situ. Tadinya hanya berniat duduk di
beranda, menuggu redanya hujan. Tetapi penjaga bungalow itu muncul: membukakan
pintu kamar tamu, kamar makan, kamar tidur ...” (Raumanen, 2006: 62)
Rumah
Manen
Rumah
yang sangat kecil, yang cukup untuknya. Jika kita cermati, pencerita menggambarkan
itu sebagai tempat peristirahatan terakhir (kuburan).
“Rumahku
sekarang kecil—barangkali terlalu kecil. Tetapi cukup bagiku. Aku toh di luar,
dalam alam terbuka ... juga waktu musim hujan.” (Raumanen, 2006: 73)
b.
Latar waktu
Suatu
waktu saat Monang menyadari bahwa hari sudah pagi.
“Kubuka jendela,
kuhirup udara segar dini hari. Teduhnya pagi ini .... Seekor burung pipih
hinggap dekat tanganku....” (Raumanen, 2006: 8)
Suatu
malam ketika Monang bermimpi tentang Manen.
“Tadi malam, aku
bermimpi tentang Raumanen. Rupanya kuteriakkan namanya....” (Raumanen, 2006: 5)
Suatu
malam ketika Manen berharap Monang akan datang menemuinya.
“Malam itu
Monang tidak datang, Manen makin gelisah....” (Raumanen, 2006: 89)
“Malam itu
Monang datang, sesuai dengan janjinya....” (Raumanen, 2006: 97)
Sore
hari yang digambarkan ketika Manen bertemu dengan Philip.
“Sore itu, Manen
datang ke tempat praktek Philip. Lama mereka berbicara....” (Raumanen, 2006:
120)
c.
Latar suasana
Tegang
dan mencekam.
“Dia tak berbicara.
Aku pun diam. Kami sudah lama tak berusaha lagi menjembatani jurang di antara
kami dengan penjelasan, permohonan, penghiburan....” (Raumanen, 2006: 5)
“Aku bangkit
dari ranjang, keluar dari kamar tidur yang menyesakkan nafas itu....”
(Raumanen, 2006: 5)
4.
Alur: Menggunakan alur maju-mundur. Pengarang
menceritakan keseluruhan cerita dengan sangat sederhana, sehingga membuatnya
menarik. Disajikan dengan teknik penceritaan yang unik, menggunaan tiga
pencerita, yaitu; komentar pencerita, monolog interior langsung, dan monolog
interior tak langsung.[6]
Diawali dengan pertemuan dan perkenalan antara Manen
dengan Monang. Ketika mereka sedang menghadiri acara ulang tahun Bapak
Profesor.
Konflik yang terjadi setelah mereka bertemu dan
mengenal lebih dekat satu sama lain, tanpa disadari, tumbuhlah benih-benih
cinta di antara mereka, mereka pun saling mencintai. Manen yang mengetahui
siapa sebenarnya Monang, merasa ragu dengan kasih sayang dan cinta yang
diberikan Monang untuknya, begitu juga sebaliknya.
Klimaks pun terjadi dengan pembuktian percintaan
mereka. Akibatnya, Manen pun hamil.
Klimaks berubah menjadi anti klimaks dengan senangnya Monang
mendengar kabar tersebut, Monang pun akan bertanggung jawab. Namun, pada
nyatanya ia tidak berani menikahi Manen, dikarenakan ibu Monang telah
menjodohkannya dengan gadis pilihan ibunya yang sesuku.
Penyelesaian diakhiri Manen dengan cara bunuh diri.
5.
Sudut Pandang: Pengarang menuliskan cerita dengan tiga
macam sudut pandang. Satu pencerita dengan gaya diaan (bercerita dalam bab 1 –
bab 11), dan dua pencerita dengan gaya akuan (dalaam bab-bab yang berjudul “Manen”
dan “Monang”). Komentar pencerita dan monolog interior tak langsung bercerita
dengan gaya diaan. Sedangkan di dalam masing-masing penceritaan dengan
pencerita gaya akuan terdapat monolog interior langsung.[7]
Monolog
interior langsung:
“Akhir-akhir
ini, tak pernah lagi teman-temanku datang menjengukku. Padahal dulu, ketika aku
baru pindah kemari, hampir setiap hari mereka datang.” (Raumanen, 2006: 1)
“Tadi malam, aku
bermimpi tentang Raumanen. Rupanya kuteriakkan namanya—karena ketika aku
bangun, gemetar dan basah keringat, nama itu masih bergema dalam kepekatan
kamar tidurku.” (Raumanen, 2006: 5)
6.
Gaya Bahasa
Gaya
bahasa yang digunakan dalam novel Raumanen
mudah dipahami, bahasanya sederhana, menggunakan ungkapan-ungkapan dan
mengandung majas-majas.
“Tetapi itu
bukan Cuma salahmu, Monang. “Badai meniupkan kapal-kapal ke mana nahkodanya tak
berhasrat pergi,” kata suatu pepatah kuno.” (Raumanen, 2006: 4)
“.... Kalau aku,
derita itu malahan membakar jiwaku. Hingga akhirnya kering, tandus, menjadi
abu.” (Raumanen, 2006: 7)
“....
Sayup-sayup terdengar suara musik rock menjembatani ombak-ombak yang tenang
berayun itu. Purnacandra mengintip dari balik awan hitam. “Ah Bulan
Kegairahanku yang tak pernah sirna! Sekali lagi megah kau rias cakrawala: Masih
berapa kali lagi kau ‘kan mencariku, dan aku yang malang ... sudah lama
binasa!” kata Manen tiba-tiba” (Raumanen, 2006: 98)
“Dan tangannya
... ya Tuhan, tangannya memegang pedang terhunus yang diarahkannya padaku ....
Pedang yang menyambarku bagaikan halilintar!” (Raumanen, 2006: 130)
7.
Amanat
Amanat yang terkandung dalam novel Raumanen yaitu janganlah menjadi
perempuan yang lemah dan bertekuk lutut oleh cinta. Karena cinta sesungguhnya
hanya milik-Nya. Perempuan harus menjadi raja atas perasaan, bukan menjadi
budak hingga menyengsarakannya.
Pesan tersirat pun ingin disampaikan pengarang, bahwa
kita harus saling memaafkan dan jangan memiliki sifat pendendam. Tuhan saja
maha pengampun, kita sebagai manusia tidak berhak menolak penyesalan seseorang.
B.
Nilai Budaya Batak pada novel Raumanen
Kebudayaan = cultuur (bahasa
Belanda) = culture (bahasa Inggris) = tsaqafah (bahasa Arab),
berasal dari perkataan Latin; “Colere” yang artinya mengolah, mengerjakan,
menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti
ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk
mengolah dan mengubah alam”.
Ditinjau dari sudut bahasa Indonesia,
kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “budhayah”, yaitu bentuk jamak dari
budhhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain mengatakan, bahwa kata budaya
adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk adidaya, yang berarti daya
dan budi. Karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya
adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa; dan kebudayaan adalah
hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut.
Mengenai definisi “kebudayaan”, telah
banyak sarjana-sarjana ilmu sosial yang mencoba menerangkan, atau
setidak-tidaknya telah menyusun definisinya.
Ada dua orang sarjana antropologi yaitu A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn,
yang pernah mengumpulkan sebanyak mungkin definisi tentang paham kebudayaan
yang termaktub dalam banyak buku-buku yang berasal dari banyak pengarang dan
sarjana. Terbukti ada 160 macam definisi tentang kebudayaan, yang kemudian
dianalisis dicari intinya dan diklasifikasikan dalam berbagai golongan dan kemudian
hasil penyelidikan itu diterbitkan dalam suatu kitab bernama “Culture, A
Critical Reviewof Concepts and Definistion 1952”[8]
Budaya Batak pada masa dulu hidup
terasing di Dataran Tinggi Toba dan Karo. Kontak budaya dalam suku lain tidak
banyak terjadi, kalaupun ada tidak terlalu mempengaruhi pola kehidupan asli
mereka. Mereka meninggalkan kepercayaan dan pola kebudayaan lama setelah mereka
menerima pengaruh agama Islam dan Kristen.
Kesatuan hidup kekerabatan terkecil pada
orang Batak adalah keluarga inti monogami. Bentuk ini oleh orang Toba disebut saama
(satu bapak) saripe(satu keluarga). Orang Simalungun menyebutnya seamang(satu
bapak)atau sepanganan (satu keluarga). Orang Karo menyebutnya sada
bapa (satu bapak). Akan tetapi mereka sangat kuat berpengang kepada bentuk
keluarga luas terbatas yang terdiri atas satu keluarga batih senior dan
keluarga batih anak laki-lakinya, sehingga pola menetap keluarga luas terbatas
ini adalah virilokal. Kesatuan kekerabatan seperti ini sering disebut Saompu
(Satu kakek). Anak laki-laki dan keluarganya akan berdiam bersama keluarga
asalnya selama ia belum mampu manjae(berdiri sendiri). Setelah mampu, ia
boleh mendirikan rumah dekat rumah bapaknya.
Prinsip pola hubungan kekerabatan orang
Batak diatur oleh ikatan adat yang disebut Dalihan Na Tolu (pokok yang
ketiga). Komuniti ini paling tidak terbagi kepada tiga kelompok kekerabtan, di
mana setiap kelompok harus mencari jodoh di luar kelompoknya. Orang-orang dalam
satu kelompok saling menyebut sabutuha (bersaudara). Kelompok lain yang
menerima gadis untuk diperistri hula-hula. Kelompok yang memberikan
gadis disebut boru. Untuk bisa berjalan maka diperlukan paling tidak
tiga kelompok kekerabatan. Peran satu kelompok sebagai hula-hula atau boru
terhadap yang lain tidak boleh berubah. Prinsip kekerabatan ini kelihatan
menonjol dalam berbagaii upacara adat, seperti upacara mendirikan rumah baru,
kelahiran, kematian, perkawinan, membersihkan tulang belulang nenek moyang dan sebagainya.
Falsafah hidup Batak ada 7 yaitu:
1. Mardebrata:
Mempunyai kepercayaan kepada Tuhan. sejak jaman batu, orang Batak telah
mengenal adanya Tuhan yang disebut Ompu mulajadi na Bolon.
2. Marpinompar :
Mempunyai keturunan. Setiap marga Batak menghendaki adanya keturunan sebagai
generasi penerus, khususnya anak-anak laki-laki, agar silsilahnya tidak
terputus atau hilang.
3. Martutur :
Mempunyai kekerabatan hierarki dalam keluarga, yang dikuatkan dengan Dalihan
Natolu, yaitu Dongan Sabutuha ( semarga) dengan panggilan kekerabatan abang,
bapa uda, dan bapa tua, hula-hula( keluarga dari pihak istri)dan boru( keluarga
dari pihak menantu laki-laki suami anak perempuan kita) dengan sebutan
lae(ipar) dan atau Amangboru, sehigga ketiga unsur tersebut dihimpun dalam somba
marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru.
4. Maradat :
Mempunyai adat dan istiadat dengan pelaksanaan dalihan natolu(tiga tungku)yang
implementasinya somba (hormat) kepada keluarga pihak istri,
manat(hati-hati)kepada dongan tubu( semarga), dan elek atau mengasihi boru (
anak perempuan kita besert keluarganya).
5. Marpangkirimon:
Mempunyai pengharapan (cita-cita), yakni mencapai harmoraon (pencapaian
harta/materi), hagabeon (mendapatkan anak laki-laki dan perempuan) dan
hasangapon( punya kedudukan dan dihormati dalam lingkunga. masyarakat).
6. Marpatik:
Mempunyai aturan dan undang-undang yang dapat mengikat semua masyarakat Batak
untuk tidak membuat anarkis, dan lengkap dengan sanksi yang ditetapkan
berdasarkan kesepakatan raja-raja dan harus dihormati semua pihak.
7. Maruhun:
Mempunyai hukum dan undang-undang yang baku ditetapkan oleh raja huta ( raja
kampung) berdasarkan musyawarah yang harus dihormati dan dituruti oleh semua
pihak.[9]
Falsafah Marpinompar (Punya
Keturunan)
Anak demikian penting dalam keluarga
orang Batak. Simak perumpamaan berikut :
Tampuk ni pusu-pusu,
ihot ni ate-ate, dohot tumtum bani si ubeon di hajolmaonna, na jadi tondi
siudut hosa dohot ngolu dibagasan adat Batak dohot Habatohon
(Anak merupakan tampuk/pusat dari
jantung, pengikat hati, dan alat pencernaan dalam perut. Anak menjadi roh
penyambung nafas dan kehidupan di dalam adat dan perilaku Batak. Dengan
pengertian itu, bila anak laki-laki “Manunda” (melakukan kesalahan,
mengakibatkan orang lain mengalamai kerugian, baik hart ataupun moril), maka
anak tersebut tidak boleh disakiti/dibunuh. Akan tetapi, kita harus membayar
kerugian materi yang dibuat oleh anak itu. Demikian pula dengan anak perempuan
“Pahilolong” (meninggalkan suami atau berselingkuh dengan laki-laki lain), maka
anak jangan ditenggelamkan ke sungai/danau.akan tetapi, kesalahannya itulah
kita bayar, walaupun lebih besar biayanya dari biaya pernikahannya.)[10]
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada peraturan atau adat Batak yang
menyebutkan bahwa orang Batak harus menikah dengan sesame orang Batak. Dari
prinsip pola hubungan kekerabatan orang Batak diatur oleh ikatan adat yang
disebut Dalihan Na Tolu (pokok yang ketiga). Komuniti ini paling tidak
terbagi kepada tiga kelompok kekerabatan, di mana setiap kelompok harus mencari
jodoh di luar kelompoknya. Inilah mengapa mereka harus mengetahui apa nama
marganya dan apa nama marga calon pasangannya. Jika dilanggar, mereka akan
dikucilkan dari pergaulan.
“Monang tertawa, tapi nadanya tidak gembira. “Ah,
Raumanen! Kau begitu bodoh …. Calon-calon yang disodorkan oleh ibuku selalu
gadis-gadis Batak yang paing cocok menurut hukum adat ….” (Raumanen, 2006: 39)
Pada kutipan di
atas, terdapat prinsip Batak yang tidak sesuai dengan prinsip pola kekerabatan orang Batak. Monang
berkata bahwa menikah dengan wanita Batak adalah hukum Adat. Nyatanya, tidak
ada prinsip yang demikian dalam budaya Batak.
“Dan ingin kuteriakkan kepada perempuan tua ini,
yang selalu menangani nasibku sejak aku dilahirkannya ke bbumi ini: “Jangan kau
harapkan cucu dariku! Inilah upah kekerasan hatimu! Ganjaran yang kau terima
bagi kecongkakanmu …. Dulu kau tak sudi mengaku anakku sebagai cucumu, bila
darahnya bmonang tidak mempunyai keturuan dari istri sahnyaukan darah Batak
murni. “ (Raumanen, 2006: 79)
Pada kutipan di
atas jelas tertulis bahwa Monang tidak mempunyai anak dari istrinya yang
merupakan saudaranya yang berasal dari Sibolga. Walaupun Monang mempunyai anak
dari Raumanen, namun anak tersebut tidak diakui oleh ibunya Ini merupakan salah
satu kegagalan dari seorang Batak dan menyalahi salah satu falsafah hidup
mereka..
“Padahal seorang laik-laki Batak sangat mengharapkan
seorang putra. Tanpa putra, ia akan hilang dari silsilah keluarganya.
(Raumanen, 2006:46)
BAB V
PENUTUP
SIMPULAN
Novel karya Marianne Katoppo ini menjadi
menarik untuk dibaca karena menuliskan kisah yang tidak biasa pada zamannya.
Novel Raumanen sempat menimbulkan
kontroversi karena penggambarannya yang jujur tentang hubungan lelaki-perempuan
dan tentang ketegangan antar agama dan suku—hal-hal yang masih menjadi masalah
di Indonesia sampai sekarang.
Novel Raumanen ini mengangkat
tema tentang bentrokan budaya Batak dan Manado. Konsep bahwa lelaki keturunan
Batak harus menikah dengan gadis yang sesuku. Pengarang juga menceritakan
keseluruhan cerita dengan sangat sederhana, sehingga membuatnya menarik.
Disajikan dengan teknik penceritaan yang unik, menggunaan tiga pencerita,
yaitu; komentar pencerita, monolog interior langsung, dan monolog interior tak
langsung.
Nilai budaya dalam novel ini terjadi
pada tokoh Monang. Konflik pada dirinya semua bersumber pada bentrokkan budaya
Batak di sana-sini. Permikahan yang harus berasal dari suku yang sama dan
Monang yang tidak mempunyai anak menjadi masalah sentral budaya Batak. Tidak
bisa dipungkiri, bahwa novel ini adalah novel dengan bentrokkan budaya yang
terpapar begitu jelas. Namun, untuk kasus dalam adat yang diutarakan oleh Ibu
Monang bahwa orang Batak harus menikah dengan sesama sukunya tidaklah benar.
Dalam budaya Batak hanya ditulis bahwa orang Batak tidak boleh menikah dengan
sesama marganya.
DAFTAR PUSTAKA
( Dihilangkan untuk alasan menghindari copast)
Hasil diskusi kelas 6C pada tanggal 2 Mei 2013, Pukul 07.30-10.30 WIB
Perempuan penulis Indonesia
-1920-1930 : Hamidah (Kehilangan Mestika), S. Rukiah (Kejantanan Hati), Selasih (Kalau Tak Ada Untung), Arti Purbaini (Widyawati)
-1950 : N.H Dini
-1970 : Marga. T, La Rose, Marianne Katoppo -----> Sastra Pop/ Populer
Pada tahun 1960-an, perempuan dianggap sebagai kelompok non produktif. Dibagi menjadi dua kelompok yaitu penulis dan kaum konsumerisme (membeli dan membaca).
Pada tahun1970-an, kondisi Indonesia mengalami perbaikan ekonomi, maraknya media khusus perempuan, yaitu majalah Femina, Ayah Bunda dll. Dan maraknya produktivitas.
Menariknya novel ini adalah ketika diterbitkan pada tahun 1970-an, tokoh Raumanen menjadi perempuan yang mempunyai sikap yang berani jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang ada pada novel-novel sebelumnya.
Hmmm... hilangkan pustaka Naila, kalau terlalu lengkap siap-siap di-copas hehe
BalasHapuswaduh ada dosen saya ini. hehe. Iya Bu, segera saya edit. Terimakasih untuk masukkannya ^_^
Hapussangat membantu saya dalam tugas bindo saya, terimakasih hehe
BalasHapus