Senin, 08 Oktober 2012

Makalah Kajian Puisi ; Raja Ali Haji, Biografi dan Pemikirannya.


RAJA ALI HAJI BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA

A.      Biografi
Pujangga termahsyur dari Pusat Kebudayaan Melayu Riau-Johor. Ia dianggap pembaharu gaya penulisan Melayu pada pertengahan abad ke-19. Sejak remaja, putra raja Bugis terkenal (Raja Haji) ini sering mengikuti ayahnya merantau ke Batavia (sekarang Jakarta) dan kemudian menunaikan ibadah haji. Pendidikan agama diperolehnya di Pulau Penyengat dan Mekkah. Pada masa itu, ia berhasil mengembangkan Riau menjadi Pusat Kebudayaan Melayu yang besar. Ia juga pernah menjadi guru raja Muda Riau dan Penasihat Kerajaan. Berbagai karyanya antara lain: Gurindam dua belas (1846), Kitab Pengetahuan Bahasa (1854), Syair Nikah, dan Syair Gemala Mustika.[1]
Banyak orang yang sudah mendengar nama Ali Haji ketika masih berada sekolah menengah. Tokoh ini ternyata tidak hanya mengarang Gurindam XII sebagaimana banyak yang hinggap di benak orang, tetapi juga mengarang 12 buku lainnya. Di antara buku tersebut adalah Tuhfat al-Nafis (sejarah), Bustan al-Katibin, Pengetahuan Bahasa (tata bahasa), Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik), serta jumlah syair seperti Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk.[2]
Lahir di Pulau Penyengat, 1809 (ada yang menyebut 1808), Raja Ali Haji tumbuh dari dan dalam keluarga terpandang. Dia mewarisi darah kebangsawanan Melayu dari kakeknya, Yang Dipertuan Muda IV Kesultanan Melayu Johor-Riau-Lingga-Pahang Raja Haji Asy-Syahid Fi Sabilillah. Yang Dipertuan Muda (Yamtuan) adalah jabatan semacam perdana menteri, yang dalam banyak hal lebih memainkan peran tinimbang sultan Melayu. Sang kakek mendapat gelar Asy-Syahid Fi Sabilillah, sebab dia gugur dalam pertempuran melawan Belanda di tahun 1784, dimana dia bertindak sebagai panglima perang.
Tetapi tampaknya Raja Ali Haji lebih mewarisi darah ayahnya sebagai seorang ilmuwan. Ayahnya, Raja Ahmad bin Raja Haji Fi Sabilillah, adalah seorang ilmuwan yang menulis sedikitnya 4 judul buku (satu di antaranya bersama Raja Ali Haji). Sebagai seorang ilmuwan, Raja Ahmad dipercaya menjadi penasihat kerajaan, khususnya pada masa pemerintahan kakak kandungnya, Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Ja’far bin Raja Haji Fi Sabilillah. Adapun ibu Raja Ali Haji, ialah Hamidah binti Panglima Malik, puteri dari Selangor.


Di tahun 1822 Raja Ali Haji mengikuti rombongan Kesultanan Riau yang dipimpin ayahnya ke Batavia. Rombongan itu adalah utusan resmi Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Ja’far. Misinya, bertemu dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A. Baron van der Capellan di Batavia untuk membahas dampak suksesi Sultan Mahmud di Riau dan pengangkatan Sultan Husin di Singapura. Inilah untuk pertama kalinya Raja Ali Haji menginjakkan kaki di pulau Jawa. Sudah tentu pada kesempatan itu dia bertemu dengan beberapa penguasa kolonial, di antaranya ialah Christian van Anggelbeek, seorang penerjemah yang menguasai beberapa bahasa.
Bagi Raja Ali Haji, tentu saja banyak hal berkesan dari perjalanan selama 3 bulan itu. Suka-dukanya. Manis-pahitnya. Di antara yang sangat berkesan bagi anak berusia 13 tahun tersebut adalah pada ketika itu, atas undangan pemerintah Belanda, bersama rombongan dia sempat menonton apa yang disebutnya “wayang Holanda” atau “wayang komidi”. Ialah pentas kesenian di sebuah gedung pertunjukan yang, tulis Raja Ali Haji dalam Tuhfatun Nafis, “sifat rumahnya itu lekuk ke dalam tanah”. Ya, gedung itu adalah Schouwburg, gedung kesenian di zaman kolonial yang kini dikenal dengan Gedung Kesenian Jakarta (Yunus 2002: 68).
Di tahun 1826, Raja Ali Haji sekali lagi mengikuti perjalanan ayahnya. Kali ini ke Semarang, Jawa Tengah sekarang, dengan misi dagang untuk menghimpun dana perjalanan haji ke tanah suci. Dalam perjalanan ini, Raja Ali Haji jatuh sakit, terserang “penyakit hawar, muntah berak hampir tiada harap akan hidupnya,” tulis Raja Ali Haji. Hawar adalah sejenis penyakit menular. Penyakit yang menyerang anak 17 tahun itu rupanya sangat serius, sebab sang ayah sempat memesan keranda sebagai persiapan kalau-kalau ajal datang menjemput. Sang ayah akan membawa pulang ke Riau jenazah sang anak, jika benar ajal menjemput. Tapi di Semarang, bau ajal rupanya hanya mendekat. Maka Raja Ali Haji bisa mencatat dengan cukup rinci kisah perjalanannya, termasuk tempat-tempat yang disinggahinya, seperti Jepara dan Juana.
Sebagaimana telah diniatkan, Raja Ahmad, ayah Raja Ali Haji itu, berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan haji di tahun 1828. Raja Ali Haji ikut serta dalam perjalanan ini. Setelah melaksanakan ibadah haji inilah sesungguhnya nama Haji dilekatkan di bagian belakang nama anak yang semula hanya bernama Raja Ali itu. Tentu saja, di sini Raja Ali Haji tidak hanya melaksanakan ibadah haji. Pastilah dia menggunakan kesempatan itu untuk memperdalam ilmu, khususnya ilmu agama, bahasa, dan sastra Arab. Di abad ke-19, Makkah dan Madinah bukan saja pusat spiritual Islam, melainkan juga pusat intelektual Islam paling penting di dunia. Dan, dunia Melayu adalah satu bagian penting dari koneksi dan jaringan intelektual para ulama secara internasional, yang berpusat di Timur Tengah.[3]

B.       Pemikiran Raja Ali Haji
Melalui dua kitabnya tentang kebahasaan misalnya, tokoh ini merupakan orang pertama di Nusantara yang berusaha membakukan bahasa Melayu. Itu pun dengan suatu catatan khusus lagi yakni bagaimana Pengetahuan Bahasa misalnya yang merupakan kamus monolingual bahasa Melayu, disusun dengan cara yang tidak lazim bagaimana sebuah kamus sebagaimana dikatakan Prof. Dr. Harimurti Kridalaksana. Entri kata kamus ini mengambil persamaan suku kata pertama dan terakhir dan penyusunannya jelaslah lebih rumit dibandingkan kamus yang dikenal secara umum.
Dalam sastra juga sebenarnya Raja Ali Haji coba membuat berbagai pembaruan. Harap ingat, Gurindam XII merupakan satu bentuk sastra yang sebelumnya tidak pernah ditemui di alam Melayu. Maknanya, melalui karya itu Raja Ali Haji memberi satu lompatan kreatif yang tidak terduga. Begitu juga dengan pembagian gender dalam sastra sebagaimana diungkapkan hasan Jusus dan diperlihatkan Raja Ali Haji lewat Syair Suluh Pegawai dan Syair Siti Shianah. Sasaran dari kedua syair itu sama, tetapi syair pertama untuk lelaki, sedangkan syair kedua untuk perempuan.
Raja Ali Haji juga membuat pembaruan dalam penulisan sejarah. Sebagaimana banyak dikatakan pakar, sebelum Tuhfat al-Nafis ditulis (1858), buku-buku yang dianggap sejarah yang ditulis dikalangan Melayu, memliki kelamahan yang paling kentara dipandang dari segi penulisan sejarah modern.[4]
Melihat dari karya-karyanya, Raja Ali Haji mencintai ilmu  dalam berbagai bidang. Akan tetapi kecintaanya yang mendalam terletak pada bidang bahasa dan susastra. Dalam salah satu bukunya , Raja  Ali Haji  menulis : seribu laksa yang sedang terhunus dengan segores kalam jadi tersarung. Dalam gurindam dua belas, Raja  Ali Haji mengatakan bahwa jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa.  Selain itu terlihat pula syair-syair  dan pantun yang ditulis Raja Ali Haji dalam buku-bukunya dibidang lain.
Lalu mengapa Raja  Ali Haji menulis sejumlah buku yang ditulisnya, terutama dalam bagian pengantar, Raja Ali Haji amat sadar mengatakan bahwa dengan menulis dia berusaha memberi pesan pada masa mendatang, di samping memperingatkan masa kini akan apa-apa yang akan mereka hadapi atau dihadapi oleh masa terdahulu mereka.
Hal yang terakhir itu dinyatakan nya dengan lugas terutama dalam buku Hukumnya Mukadukufi Intizam. Dalam bukunya itu, dia memperingatkan yang dipertuan muda Raja Ali akan kewajbannya sebagai seorag pelaksana amanat rakyat.  Dia meminta agar raja ali memperhatikan hati masyarakat yang dipimpinnyaantarlain melalui kajian kebudayaan dan relijius masyarakat.
Sementara itu, banyak pakar sejarah yang mengatakan, Raja Ali Haji dengan berani mematahkan mitos seorang raja sebagai orang tanpa cela. Raja Ali Haji menilai, kecelaan seseorang bisa saja terjadi yang dituangkannya terutama buku Tuhfat Al Nafs.
Apa-apa yang dibuat Raja Ali Haji  itu membuahkan hasil. Semangat Raja Ali Haji turun pada generasi di bawahnya shingga pada abad ke-19 sampai awal ke-20, sedikitnya ada dua puluh orang cendekiawan Riau yang berkecimpung dalam berbagai bidang dan menulis berbagai buku. Hal ini semakin subur berkat perhatian pemerintah waktu itu, terbukti dengan dibangunnya percetakan Mathabaat Al Riauwiyah dan perpustakaan Khutub Khannah Marhum Ahmadi. Pergulatan cendekiawan tersebut bermuara pada lahirnya organisasi yang bernama Rusydiah Klab penghujung abad ke-19, dipelopori  antara lain Raja Ali Kelana, Khalid Hitam, Dan Tengku Besar. Organisasi ini  bertujuan membebaskan Riau Lingga dari kolonial.
C.      Karya Raja Ali Haji


Gurindam I

Ini gurindam pasal yang pertama
Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang ma'rifat
Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari.
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang terpedaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah ia dunia mudarat.

Gurindam II

Ini gurindam pasal yang kedua
Barang siapa mengenal yang tersebut,
tahulah ia makna takut.
Barang siapa meninggalkan sembahyang,
seperti rumah tiada bertiang.
Barang siapa meninggalkan puasa,
tidaklah mendapat dua temasya.
Barang siapa meninggalkan zakat,
tiadalah hartanya beroleh berkat.
Barang siapa meninggalkan haji,
tiadalah ia menyempurnakan janji.

Gurindam III

Ini gurindam pasal yang ketiga:
Apabila terpelihara mata,
sedikitlah cita-cita.
Apabila terpelihara kuping,
khabar yang jahat tiadalah damping.
Apabila terpelihara lidah,
nescaya dapat daripadanya faedah.
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan,
daripada segala berat dan ringan.
Apabila perut terlalu penuh,
keluarlah fi'il yang tiada senonoh.
Anggota tengah hendaklah ingat,
di situlah banyak orang yang hilang semangat
Hendaklah peliharakan kaki,
daripada berjalan yang membawa rugi.

Gurindam IV

Ini gurindam pasal yang keempat:
Hati kerajaan di dalam tubuh,
jikalau zalim segala anggota pun roboh.
Apabila dengki sudah bertanah,
datanglah daripadanya beberapa anak panah.
Mengumpat dan memuji hendaklah pikir,
di situlah banyak orang yang tergelincir.
Pekerjaan marah jangan dibela,
nanti hilang akal di kepala.
Jika sedikitpun berbuat bohong,
boleh diumpamakan mulutnya itu pekong.
Tanda orang yang amat celaka,
aib dirinya tiada ia sangka.
Bakhil jangan diberi singgah,
itupun perampok yang amat gagah.
Barang siapa yang sudah besar,
janganlah kelakuannya membuat kasar.
Barang siapa perkataan kotor,
mulutnya itu umpama ketur.
Di mana tahu salah diri,
jika tidak orang lain yang berperi.
Gurindam V
Ini gurindam pasal yang kelima:
Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa,
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.

Gurindam VI

Ini gurindam pasal yang keenam:
Cahari olehmu akan sahabat,
yang boleh dijadikan obat.
Cahari olehmu akan guru,
yang boleh tahukan tiap seteru.
Cahari olehmu akan isteri,
yang boleh menyerahkan diri.
Cahari olehmu akan kawan,
pilih segala orang yang setiawan.
Cahari olehmu akan abdi,
yang ada baik sedikit budi,

Gurindam VII

Ini Gurindam pasal yang ketujuh:
Apabila banyak berkata-kata,
di situlah jalan masuk dusta.
Apabila banyak berlebih-lebihan suka,
itulah tanda hampir duka.
Apabila kita kurang siasat,
itulah tanda pekerjaan hendak sesat.
Apabila anak tidak dilatih,
jika besar bapanya letih.
Apabila banyak mencela orang,
itulah tanda dirinya kurang.
Apabila orang yang banyak tidur,
sia-sia sahajalah umur.
Apabila mendengar akan khabar,
menerimanya itu hendaklah sabar.
Apabila menengar akan aduan,
membicarakannya itu hendaklah cemburuan.
Apabila perkataan yang lemah-lembut,
lekaslah segala orang mengikut.
Apabila perkataan yang amat kasar,
lekaslah orang sekalian gusar.
Apabila pekerjaan yang amat benar,
tidak boleh orang berbuat onar.

Gurindam VIII

Ini gurindam pasal yang kedelapan:
Barang siapa khianat akan dirinya,
apalagi kepada lainnya.
Kepada dirinya ia aniaya,
orang itu jangan engkau percaya.
Lidah yang suka membenarkan dirinya,
daripada yang lain dapat kesalahannya.
Daripada memuji diri hendaklah sabar,
biar pada orang datangnya khabar.
Orang yang suka menampakkan jasa,
setengah daripada syirik mengaku kuasa.
Kejahatan diri sembunyikan,
kebaikan diri diamkan.
Keaiban orang jangan dibuka,
keaiban diri hendaklah sangka.

Gurindam IX

Ini gurindam pasal yang kesembilan:
Tahu pekerjaan tak baik,
tetapi dikerjakan,
bukannya manusia yaituiah syaitan.
Kejahatan seorang perempuan tua,
itulah iblis punya penggawa.
Kepada segaia hamba-hamba raja,
di situlah syaitan tempatnya manja.
Kebanyakan orang yang muda-muda,
di situlah syaitan tempat berkuda.
Perkumpulan laki-laki dengan perempuan,
di situlah syaitan punya jamuan.
Adapun orang tua yang hemat,
syaitan tak suka membuat sahabat
Jika orang muda kuat berguru,
dengan syaitan jadi berseteru.

Gurindam X

Ini gurindam pasal yang kesepuluh:
Dengan bapa jangan durhaka,
supaya Allah tidak murka.
Dengan ibu hendaklah hormat,
supaya badan dapat selamat.
Dengan anak janganlah lalai,
supaya boleh naik ke tengah balai.
Dengan isteri dan gundik janganlah alpa,
supaya kemaluan jangan menerpa.
Dengan kawan hendaklah adil supaya tangannya jadi kafill.

Gurindam XI

Ini gurindam pasal yang kesebelas:
Hendaklah berjasa,
kepada yang sebangsa.
Hendaklah jadi kepala,
buang perangai yang cela.
Hendaklah memegang amanat,
buanglah khianat.
Hendak marah,
dahulukan hujah.
Hendak dimulai,
jangan melalui.
Hendak ramai,
murahkan perangai.

Gurindam XII

Ini gurindam pasal yang kedua belas:
Raja mufakat dengan menteri,
seperti kebun berpagarkan duri.
Betul hati kepada raja,
tanda jadi sebarang kerja.
Hukum adil atas rakyat,
tanda raja beroleh inayat.
Kasihkan orang yang berilmu,
tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai,
tanda mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan dirinya mati,
itulah asal berbuat bakti.
Akhirat itu terlalu nyata,
kepada hati yang tidak buta.





D.      DAFTAR PUSTAKA

Hassanuddin, W.S. dkk. Ensiklopedia Satra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu Bndung. 2009.
Jamil, Taufik Ikram., Raja Ali Haji Hadir Pada Setiap Zaman. Jakarta:Republika. 1996.
Rahman, Djamal D. http://jamaldrahman.wordpress.com/2010/02/04/raja-ali-haji-paduka-kakanda-dibawa-bertahta/ diakses pada  18 September 2012 pukul 08.00 WIB.



[1] W.S. Hassanuddin, dkk, Ensiklopedia Satra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu Bndung, 2009), h.765
[2] Taufik Ikram Jamil, Raja Ali Haji Hadir Pada Setiap Zaman, (Jakarta : Republika, 1996), h.24
[3] Djamal D. Rahman, http://jamaldrahman.wordpress.com/2010/02/04/raja-ali-haji-paduka-kakanda-dibawa-bertahta/ , diakses pada  18 September 2012 pukul 08.00 WIB

[4] Taufik Ikram Jamil, Raja Ali Haji Hadir Pada Setiap Zaman, (Jakarta : Republika, 1996), h.24

1 komentar: