A.
Sinopsis cerpen “Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga” Karya Kuntowijoyo
Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”
mengisahkan seorang anak laki-laki bernama Buyung yang menyukai bunga, tetapi
ditentang keras oleh ayahnya. Cerita dimulai dengan kepindahan keluarga Buyung
dari desa ke kota. Di kota, rumahnya bersebelahan dengan sebuah rumah berpagar
tembok tinggi. Dari orang-orang, Buyung mendapat kabar bahwa rumah itu dihuni
oleh seorang kakek yang hidup sendiri. Karena terdorong rasa penasaran yang
kuat, akhirnya ia mengintip rumah itu dengan naik ke pagar tembok melalui pohon
kates di pekarangan rumahnya. Ia kaget ketika menyaksikan pemandangan halaman
rumah itu yang penuh dengan banyak bunga. Namun. Ia tak berhasil melihat kakek.
Ia pun bertanya pada orang-orang tentang kakek, tetapi tak satu pun yang
mengetahuinya. Walaupun kawan-kawannya mengejek, ia tetap mencari informasi
tentang kakek. Sampai suatu hari, ia bisa bertemu kakek itu secara
dekat. Pada pertemuan pertama, kakek memberinya bunga yang diselipkan pada
tangannya. Anehnya, ia langsung mencintai bunga itu. Ayahnya menentang dan
menghancurkan bunga itu. Buyung merasa sedih.
Sejak itu, Buyung sering mengunjungi rumah
kakek dan pulang membawa bunga ke rumah. Bunga itu ia simpan di kamarnya.
Ayahnya marah besar melihat hal itu. Akhirnya terjadilah perang dingin antara
ia dan ayah. Ia menghindari bertemu ayah. Ia lebih memilih mengurung diri di
kamar sambil menatap bunga-bunga atau pergi ke rumah kakek. Ayahnya tak menyukai
hal tersebut, maka disuruhlah Buyung bekerja di bengkel yang berada di halaman
rumah. Praktis, seluruh waktu yang dimilikinya habis untuk sekolah, mengaji,
dan bekerja. Ia hampir tak punya waktu untuk berkunjung ke rumah kakek. Ketika
ada kesempatan, barulah ia dapat menemui kakek. Saat itu, ia menanyakan
pekerjaan kakek. Kakek menjawab bahwa ia mencari hidup sempurna melalui bunga.
Ia juga bertanya pada ayah. Ayahnya menjawab bahwa ia mencari hidup sempurna
melalui bekerja. ”Engkau mesti bekerja. Sungai perlu jembatan. Tanur
untuk melunakkan besi perlu didirikan. Terowongan mesti digali. Dam dibangun.
Gedung didirikan. Sungai dialirkan. Tanah tandus disuburkan. Mesti. Mesti,
Buyung! Lihat tanganmu!” kata ayahnya. Buyung pun menemukan jawaban
bahwa kedua tangannya harus digunakan untuk bekerja. Kemudian, cerita ditutup
dengan sebuah kalimat singkat, ”Bagaimanapun aku adalah anak ayah dan ibuku”.[1]
B.
Analisis Cerpen dengan Pendekatan Pragmatik
Cerita “Dilarang mencintai bunga-bunga”, yang dipilih sebagai judul
kumpulan cerpen ini, mengungkapkan masalah yang dihadapi seorang anak ketika
harus menentukan pilihan antara bunga dan bengkel. Tokoh dalam cerpen itu
adalah seorang anak laki-laki yang bersama orang tuanya baru saja pindah ke
kota. Ayahnya adalah sorang pekerja bengkel, gagah, berotot, dan tak kenal
lelah kerja apapun. Pendiriannya: Malas adalah musuh besar laki-laki.
Di kota, si anak berkenalan dengan sorang kakek. Mula-mula
diselubungi serba rahasia, kalau bukan
takhayul, yang memilih bunga sebagai lambang kehidupan. Permainan lambang
Kuntowijoyo rupanya mengikuti konvensi yang ada. Dalam perlambangan itu, ia
menggunakn kontras untuk menawarkan makna. Anak itu berada dalam tegangan
antara kakek dan ayah, bunga dan mesin, ketenangan jiwa dan kegemuruhan kerja,
surga dan neraka. Di rumah kakek, si anak belajar mencintai bunga, mencari
ketenangan jiwa, dan kehidupan sempurna. Ayahnya menjadikan rumahnya sebuah
bengkel yang bising oleh suara pukulan palu. Ayah memang berkuasa atas anak,
memaksanya melupakan “bunga” dan melumurinya dengan kerja. Ibu memihak ayah,
memberikan tambahan, yakni masjid. Akhir cerita, si anak memilih kedua
orangtuanya, yakni bengkel dan mesjid, kerja dan mengaji. Bukan keheningan jiwa
dan bunga.
Dalam ceritanya, terasa dialog antara Kakek dan sang anak yang
menjadi tidak ringan lagi, bahkan melampaui takaran nalar sang bocah, misalnya
saat mereka berdialog untuk mencari kesempurnaan hidup : “Rumah ini”,
kata Kakek, “sebagian kecil dari sorga (hlm.9) . Atau ungkapan ini: “Katakanlah,Cucu.
Apakah yang lebih baik dari ketenangan jiwa?” sang bocah yang dikisahkan
masih menyulai layang-layang itu pun menjawab, “Tidak ada Kakek! Tidak ada yang
lebih dari itu! (Hlm.12)
Dikisahkan kemudian Kakek menuntun bocah menikmati bunga-bunga: “Segala
yang mengendap. Cobalah lihat, Cucuku. Bunga-bunga di atas air ini melambangkan
ketentraman, ketenangan dan keteguhan jiwa. Di luar matahari membakar. Hilir
mudik kendaraan”. Demikian bunyi ajaran Kakek kepada bocah, yang tentu
maksudnya menyodorkan keseimbangan.
Dalam kumpulan cerpen ini, Kuntowijoyo menunjukkan perhatiannya
atas berbagai masalah sosial yang barang kali tampak terlalu sepele bagi
kebanyakan pengarang yang lebih memperhatikan gagasan “besar”. Ia menelusuri
pikiran dan perasaan berbagai jenis manusia yang sering tampak kebingungan
menghadapi situasi sosial tertentu, apakah menyangkut diri sendiri atau orang
lain. Ketidakmengertian itu membuahkan “kelambanan” bereaksi dalam diri
tokoh-tokohnya. Ini ditunjukkan dalam karakter sang Anak yang terombang-ambing
dalam pendiriannya yang masih goyah. Cerpen ini menekankan pengutaraan yang
sangat rinci pada hubungan antara kakek dengan sang anak. Kuntowijoyo lebih
banyak mengutarakan pandangan hidup kakek yakni kebatinan.
Kumpulan cerpen mengandung “benang merah” gaya penulisan
pengarangnya, perkembangan kepengarangnnya, dan pesan yang menjadi obsesi
pengarang. Kecuali itu, barangkali juga, kumpulan cerpen adalah suatu
retrospreksi bagi pengarangnya.
Demikianlah
motivasi yang melatarbelakangai pembahasan singkat tentang sepuluh kumpulan
cerpen karya Kuntowijoyo. Siapa yang tidak mengenalnya? Ia bukan hanya
sastrawan, tetapi juga sejarawan, guru, dan pemikir Islam yang cemerlang.
Kiranya inilah yang pertama-tama harus diketahui sebelum lebih jauh membaca
karya-karya yang dengan tepat dipilih oeh Sunu Wasono untuk diterbitkan kembali
dalam buku ini. Meskipun demikian,
cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku
ini sama sekali tidak mengesankan eksistensi
Kuntowijoyo sebagai ilmuwan atau begawan. Ia membatasi dirinya dalam
kapasitas cerpenis. Tak ada petuah, ia mendakwah, dan tak ada sejarah. Sebagai
pemikir, tentu hal-hal itu sudah dipikirkannya dengan suatu asumsi bahwa muatan
cerpen tidak sama dengan muatan novel. Dengan demikian, jangan membandingkan
kumpulan cerpen ini misalnya dengan karya novel monumentalnya “Chotbah di
Atas Bukit”.[2]
Cerpen Kuntowijoyo ini termasuk cerpen “filsafat” dengan pola
konvensional. Pikiran-pikiran filsafatnya dinyatakan dengan intensif, tetapi
tetap terguyur basah oleh emosi cerita karena penempatan kata-katanya yang
puitis. Pikiran-pikirannya problematik dan menarik sekali dikaji dan
dianalisis, dan merangsang untuk membuka sebuah dimensi tentang arti kehadiran manusia di muka bumi ini, pola
hidup, pola pikiran, dan tata tumbuh manusia memang saling berbeda, sesuai
dengan latar belakang, persepsi dan visinya dalam memandang dan menerjuni
kehidupan ini.
Nampaknya setting yang dibangun Kuntowijoyo sangat
diperhitungkannya untuk dapat membangun watak-watak pelaku-pelakunya. Watak
Ayah yang keras dan dinamis diwakilkan oleh setting kerjanya sebagai orang
teknik, watak Kakek diwakili oleh setting rumahnya yang lindung dan dianggap
angker oleh anak-anak, dan bunga-bunganya yang semerbak harum. Kakek adalah
wakil kelemah lembutan, dunia wanita. Sedang “Aku” adalah orang yang sedang dalam
masa tak menentu, tertarik ke kiri dan ke kanan, dan itu semua sangat cocok
dengan analisa watak. Sehingga cerpen ini walaupun panjang tetap mengasyikkan
dan tidak pernah lelah membacanya. [3]
Dibandingkan dengan kebanyakan cerpen Indonesia, cerpen ini
tergolong panjang. Dengan masalah yang tampaknya sederhana itu tentu bisa
segera dibayangkan bahwa pengutaraan yang rinci menjadi penting, bahkan
merupakan teknik utama dalam cerpen Kuntowijoyo. Cerpen ini menekankan
pengutaraan yang sangat rinci pada hubungan antara kakek dengan sang anak.
Kuntowijoyo lebih banyak mengutarakan pandangan hidup kakek yakni kebatinan. Saya
membaca adanya tarik menarik, dan tegangan itu berlangsung sepanjang cerita. [4]
C.
PENUTUP
Kesimpulannya adalah karya sastra
“Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” ini sarat dengan filosofi filsafatnya. Ini
terlihat dari bagaimana Kuntowijoyo memaparkan dua filosofi hidup melalui watak
Ayah dan Kakek. Dan sang Anak dalam cerpen ini mewakilkan kebingungan dalam
menentukan pedoman hidup, walaupun pada akhirnya sang anak lebih memilih kedua
orangtuanya. Dalam cerpen ini, begitu banyak asek yang masih bisa dianalisis,
sehingga meskipun panjang cerpen ini mengasyikkan untuk dibaca.
Dan kebingungan yang terjadi dalam
diri sang Anak, tanpa kita sadari pun ada di dalam diri kita. Tidak seperti
kebanyakan pengarang yang mengambil gagasana besar dalam setiap karyanya, dalam
cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga ini, Kuntowijoyo mengambil gagasan yang terasa sangat
sederhana, namun sebenarnya ini merupkan isu-isu sosial yang terasa nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Abede Pareno, Sam. (1 Maret 1993).
Benang Merah Kepedulian Kuntowijoyo. Jawa Pos, hal.8, kolom 4-8
Djoko
Damono, Sapardi (19 Desember 1992),
Tegangan Kakek dan Anak Kecil. Tempo, No.42,
Halaman 7
Layun
Rampan, Korrie. (24 Nopember 1981), Kuntowijoyo “Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga”.Pelita,hal.5, kolom 5
Warni Ai, “Sinopsis Cerpen Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga”, dalam http://ai-warni.blogspot.com/2010/05/ ,
diakses pada tanggal 18 April 2012 Pukul 19.15 WIB
[1] Ai Warni , “Sinopsis Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”,
dalam http://ai-warni.blogspot.com/2010/05/ ,
diakses pada tanggal 18 April 2012 Pukul 19.15 WIB.
[2]
Sam Abede Pareno. (1 Maret 1993). Benang Merah Kepedulian Kuntowijoyo. Jawa
Pos, hal.8, kolom 4-8
[3]
Korrie Layun Rampan. (24 Nopember 1981), Kuntowijoyo “Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga”.Pelita,hal.5, kolom 5
[4]
Sapardi Djoko Damono. (19 Desember 1992), Tegangan Kakek dan Anak Kecil.
Majalah Tempo, hal.71, No.42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar